Pertama kali saat saya melihat buku 'Harus Bisa! Seni Kepemimpinan a la SBY’ karangan asisten Presiden SBY, DR. Dino Patti Djalal ketika saya sedang bertemu salah satu teman saya di kampus. Diatas mejanya tergeletak sebuah buku berwarna biru muda, dengan Foto Covernya adalah Presiden RI. Sebelumnya saya nggak 'ngeh' dengan buku tersebut. Namun, entah kenapa, mata saya selalu melirik buku ini ketika saya sedang berbicara dengan teman saya tersebut.
Akhirnya, ketika saya mau keluar dari ruangan teman saya tersebut, saya menyempatkan diri mengambil buku tersebut, dan membolak balik beberapa halaman, saya terkesan dengan suatu foto yang begitu indah, foto saat helikopter Presiden SBY beranjak dari Pasema, Jayawijaya, Papua. Foto ini menarik minat saya untuk membaca secara singkat tulisan yang datang bersamanya. Gaya penulisan yang berbentuk cerita dan penuh fakta-fakta menarik dan foto-foto yang eksklusif membuat saya memutuskan untuk membaca lebih jauh buku ini.
Pada sampul depannya, tertulis di situ bahwa buku ini adalah catatan harian Dino (selama menjadi staf khusus Presiden SBY). Lho, jadi ini buku tentang leadership atau catatan harian? Dua2nya. Ini buku tentang kepemimpinan gaya SBY dan sekaligus merupakan catatan Dino tentang segala peristiwa dan cerita selama dirinya membantu Presiden SBY sebagai staf khusus.
Tapi, menurut saya, buku ini menarik karena kita juga bisa belajar banyak hal di bidang politik, sejarah, sosial dan khususnya hubungan diplomatik dan internasional. Ini karena wawasan dan kompetensi Dino sebagai diplomat dan intelektual muda yang tidak perlu diragukan lagi. Saya juga angkat topi untuk gaya bahasa yang ditulis dalam buku ini: ringan tapi tetap berbobot serta alurnya sangat mengalir, sehingga membaca buku ini seperti mendengarkan cerita si penulis secara langsung.
Singkat kata, buku sangat menarik untuk dibaca. Saya banyak menemukan cerita-cerita menarik di belakang layar kehidupan SBY sebagai presiden Republik Indonesia. Posisi Dino sebagai pembantu Presiden SBY membuat dirinya senantiasa berada di front seat untuk menyaksikan saat-saat bersejarah SBY berkiprah sebagai Presiden RI pertama yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Membaca cerita yang dipaparkannya, saya semakin tersadar bahwa menjadi Presiden RI pada saat ini adalah suatu tantangan kepemimpinan yang luar biasa.
Sebagai Presiden RI, pemimpin harus berdedikasi untuk bekerja keras; Anda akan temukan di buku ini cerita-cerita di mana SBY bekerja sampai dini hari, dan sering membuat pembantu-pembantunya kalang kabut mengejar deadline. SBY juga jarang melewati weekend tanpa tugas kepresidenan. Kondisi fisik prima dan ketahanan terhadap stress menjadi syarat mutlak.
Pemimpin juga harus berhati lapang; sanggup menerima kritik, hasutan dan perlakukan yang tidak mengenakkan dari banyak pihak, dan mampu menempatkan posisi dalam menanggapi hal ini, seperti kasus fitnah dari Eggy Sudjana yang sempat mengemuka beberapa tahun yang lalu.
Presiden RI juga membutuhkan pemimpin yang berintelektual tinggi. Contoh cerita di mana SBY terlibat langsung dalam menggagas Global Inter-Media Dialogue, atau upayanya menggolkan Bali Roadmap dalam Climate Change Conference di tahun 2007, membuat saya terus terang meragukan apakah (dengan penuh rasa hormat), Megawati, sanggup melakukan hal yang sama saat beliau menjadi Presiden.
Satu hal lain juga menarik dari kriteria kepemimpinan seorang Presiden adalah kemampuan dalam mengambil keputusan. Banyak orang yang mengatakan bahwa SBY adalah seorang yang indecisive. Mungkin saja hal itu benar. Namun kalau saya berusaha menyelami masalah yang dihadapi SBY, suatu pengambilan keputusan yang impulsif dan spontan justru bisa menimbulkan reperkusi yang panjang di masa mendatang bagi bangsa ini. Dalam pekerjaan saya, saya juga sering menyaksikan bagaimana keputusan strategis harus diambil dalam waktu yang singkat karena desakan kompetisi. Dalam konteks negara, timing pengambilan keputusan yang tepat bukan berarti semakin cepat keputusan diambil, hal itu lebih baik. Tergantung dari konstelasi politik yang dihadapi. Yang jelas, buku ini membuat Anda akan lebih mengapresiasi beberapa proses pengambilan keputusan yang diambil oleh SBY.
Tapi yang paling utama dalam era reformasi adalah Presiden RI harus merupakan pemimpin yang memiliki intergritas moral yang tinggi. Sewaktu SBY berkampanye untuk menjadi Presiden RI di tahun 2004, saya sudah mengira kalau SBY merupakan figur calon presiden yang paling jauh dari korupsi. Sebagai Jenderal TNI, beliau terlihat sederhana, kontras dengan beberapa Jenderal atau bahkan Kolonel TNI yang saya pernah temui atau lihat. Di dalam buku ini, Dino juga menuturkan beberapa cerita akan kesederhanaan SBY kendati telah menjadi presiden. Jam tangan SBY misalnya, masih merupakan jam tangan yang sama yang dikenakan beliau saat mengenal Dino pertama kali di tahun 2000.
Komitmen SBY dalam menumbuhkan budaya korporat dalam pemerintahannya juga patut diacungi jempol. Buku ini akan menampilkan sisi PNS yang berbeda dengan pandangan awam. PNS yang responsif, dan profesional. PNS yang bekerja sama kerasnya dengan karyawan swasta yang kadang dituntut bekerja around-the-clock demi target penjualan. Karyawan yang musti berintelektualitas tinggi untuk dapat mengimbangi atasannya. Dan SBY pun diceritakan bak manajer yang jempolan. Seorang pemimpin yang dapat dekat dengan bawahannya, namun tidak segan “mendamprat” apabila bawahannya melakukan hal yang kurang memuaskan. SBY juga tampil sebagai manajer yang sanggup memberikan panduan dan arahan yang baik untuk pengembangan karir anak buahnya.
Sounds like too good story to be true? Too perfect as a leader? Yes, maybe it is. Justru di sini lah kelemahan buku ini. There is no other side of story. Kelemahan dan kekurangan SBY kurang ter-ekspos. Namun mengingat tema buku ini, saya juga tidak bisa melihat bagaimana hal tersebut dapat dimasukkan ke dalam buku ini. Mungkin akan tidak sesuai misi buku ini, mungkin status penulis sebagai bawahan langsung SBY juga tidak memungkinkan hal tersebut, atau malah mungkin akan menjadi suatu bagian “sumbang” dari suatu rentetan cerita yang mengagumkan dari sosok seorang SBY.
Namun terlepas dari itu semua, terlepas dari apakah buku ini merupakan buku “propaganda” SBY untuk menghadapi Pemilihan Presiden di tahun 2009, ataupun terlepas apakah cerita-cerita yang dipaparkan oleh Dino merupakan suatu cerita ala sinetron yang penuh dramatisasi, tapi yang jelas buku ini banyak memberi pelajaran bagi kita untuk menyelami “what it takes to be leader”. Komplikasi antara waktu yang terbatas, stakeholders yang beragam, masalah yang selalu muncul, membuat kita tersadar menjadi seorang pemimpin yang besar bukan hanya membutuhkan kapabilitas dan ketrampilan yang terus menerus dikembangkan, tapi kadang juga memerlukan suatu bakat dan garis tangan seseorang untuk menjadi pemimpin.
SBY juga digambarkan sebagai seorang yang sangat memperhatikan detail dan teliti serta perfeksionis. Contohnya, beliau selalu me-review naskah2 pidatonya dan mengoreksi kata demi kata sampai beliau benar2 puas terhadap naskah pidato tersebut. Mungkin inilah yang kemudian membuat SBY dianggap sebagai seorang yang peragu dan lamban dalam mengambil keputusan oleh lawan2 politiknya.
SBY juga dituliskan sebagai seorang yang energik dan punya stamina tinggi. Pola kerjanya bahkan membuat para stafnya sempat “jungkir balik” untuk menyesuaikan dengan ritme kerja SBY yang sangat tinggi.
Dari beberapa kisah, kita juga bisa melihat sosok SBY sebagai seorang anak manusia biasa yang bisa marah, sedih, gembira dan menangis. Sesungguhnya, kehidupan sebagai seorang manusia saja sudah berat, ini masih ditambah lagi dengan tanggung jawabnya memimpin 220 juta rakyat Indonesia. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana beratnya menjadi seorang Presiden negara Republik Indonesia ini. Herannya, banyak sekali politisi yang ingin duduk di kursi ini ya… :D
Juga diceritakan beberapa kisah tentang sisi kemanusiaan dan sosial SBY. Beliau dikenal cukup dekat dengan para anak buahnya, walaupun dikatakan tetap “menjaga jarak” untuk alasan profesionalisme dan integritas beliau sebagai seorang pemimpin.
Di mata Dino, SBY digambarkan sebagai sosok seorang bapak, mentor sekaligus pemimpin yang mengayomi dan memberikan banyak pelajaran serta dukungan kepada dirinya. Secara pribadi, SBY bahkan menjadi saksi pernikahan Dino. Sebagai anak buah, Dino pasti sudah sering disemprot atau dimarahi. Tapi, SBY juga tak pelit memuji anak buahnya untuk berterima kasih dan memberi motivasi sekaligus.
Bagi sebagian politisi dan pihak2 yang tidak suka terhadap SBY, mungkin buku ini bisa dianggap terlalu memihak dan mengedepankan hal2 yang baik saja tentang SBY. Tapi, kalau kita berpikiran jernih, kita bisa mengambil banyak pelajaran dari buku ini. Terlepas dari siapa SBY itu.
Menurut saya, masing2 Presiden negeri ini adalah yang putra terbaik bangsa dalam memimpin bangsa ini pada masanya. Soekarno adalah putra terbaik saat Indonesia sedang berjuang untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Soeharto adalah putra terbaik kita saat Indonesia sedang butuh pemimpin yang menarik bangsa ini dari keterpurukan ekonomi saat itu. Begitu juga presiden2 yang selanjutnya.
Dan saya pikir, sekarang SBY juga adalah putra terbaik bangsa yang terpilih untuk memimpin Indonesia. Apalagi beliau dikenal bersih, jujur, jauh dari masalah KKN dan berintegritas tinggi. Kita sebagai rakyat punya kewajiban untuk mendukung siapapun pemimpin kita, selama sejalan dengan konstitusi, Undang-undang dan tidak korup
Dan akhirnya, buku ini telah berhasil membuat saya mengagumi figur seorang SBY, seperti saya mengagumi figur Soeharto saat saya masih kecil dulu. Hanya saja, semoga kekaguman saya kali ini tidak berubah di kemudian hari.
18 November 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
begitu sulitnya pekerjaan yang di emban presiden... betul-betul membutuhkan mental baja..
karena dipundaknyalah rakyat jelata menggantungkan nasib dan masa depannya...
iyahh..sampe ada Beliau lagi marah,
pokoke buku ini lengkap de ceritain sehari2 Beliau,
huauahua..
kadang ada yang lucu juga..
thx da mampir
Post a Comment