Yang Muda Ayo NyontrenG!
Media masa menjadi homogen secara mendadak, menyuarakan pesta demokrasi yang di depan mata, dibanjiri gegap gempita pemilu dari penjuru nusantara. Dewan partai yang jumlahnya lebih dari 80 itu tak urung jadi benar-benar berada pada rush hours. Menyuarakan visi misi untuk memperjuangkan dan membela rakyat. Tapi sasarannya sendiri tidak begitu terlihat hiruk pikuk... rakyatnya itu sendiri maksud saya. Jika diadakan survei, maka akan terlihat bahwa diluar sana rakyat yang menjadi objek sasasan dan "perjuangan" para caleg itu sendiri tidak mengetahui banyak tentang pemilihan umum untuk orang-orang yang akan mewakili "jerihatan hati" mereka.
Meski berbagai jenis pohon baik yang sejatinya berbuah dan tidak berbuah, sekarang sudah menjadi homogen pula, mendadak berbuah baliho, foto caleg, poster, spanduk dan sejenisnya. Tidak hanya itu, tembok-tembok yang sepertinya "tak berpenghuni" ataupun tak ada ornamen apa pun, polos dengan satu warna, sekarang juga menjadi begitu berwarna-warni dibanjiri stiker-stiker partai yang mejikuhibiniu itu. Ternyata ada efek lain dari pemilu itu sendiri, yakni membuat media massa dan pohon-pohon ataupun tembok rumah menjadi homogen. Tapi, apakah keinginan untuk menyuarakan demokrasi itu sendiri sudah ada? yang sangat diperlukan dan menentukan itu sendiri bagaimana posisinya sekarang?
Melihat satu iklan bertema pemilu yang mengajak masyarakat bangsa ini -yang memang sudah memenuhi syarat sehingga mendapatkan hak spesial untuk menyuarakan demokrasinya- untuk tidak golput, tentu masih menjadi cermin bahwa kelompok masyarakat yang memilih abstain dan mengabaikan haknya untuk memilih masih banyak dan mendapat perhatian. Mari kita lihat, statistik penduduk Indonesia Tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah penduduk berusia 15-19 tahun berjumlah 20,329,673 jiwa, sementara penduduk berusia 20-24 tahun berjumlah 19,905,150. Jumlah usia tersebut dapat digolongkan sebagai pemilih pemula yang sebagian baru akan memberikan kontribusinya pada realisasi demokrasi di Indonesia untuk pertama kali.
Jumlah mereka besar dan cukup menentukan perwujudan demokrasi langsung di negeri tercinta ini, tentu disamping kemenangan dan kekalahan partai politik itu sendiri. Tetapi media sosialisasi pemilu atau media komunikasi terbuka lain antara partai dan sekelompok pemilu pemula itu sangat jarang ditemui, sehingga mereka menjadi semakin jauh untuk mau berkontribusi karena mereka sendiri tidak mengetahui betul proses yang akan dilakukan itu. Pepatah lama mengatakan "tak kenal maka tak sayang", bagaimana pemilih mau dan bisa memilih tanpa tahu orang yang akan dipilih, latar belakang partai politik yang dipilih, ataupun segala visi misinya itu. Tapi bukan baliho besar dengan foto tersenyum lebar dan nama panjang beserta embel-embel titel pendidikan yang diperlukan untuk memberitahukan mengenai calon dan partai politik bersangkutan. Tidak, tidak cukup sampai disitu dan memang bukan itu cara yang efektif selain sosialisasi langsung melalui komunikasi terbuka, tidak juga dengan konser musik yang berteriak-teriak, mengumpulkan ribuan masa tanpa formulasi jelas tentang hasil pencapaian sasaran yang justru sangat beresiko menimbulkan konflik. Sosialisasi yang terdidik, langsung, arif dan bijaksana itulah yang seharusnya menjadi jembatan antara rasa enggan berkontribusi dan pemilih pemula.
0 comments:
Post a Comment